Wednesday, July 1, 2009

EKOWISATA BAHARI BERBASIS MASYARAKAT

( POTENSI YANG TERABAIKAN )

4T

Ekowisata telah menjadi trend baru di dunia Internasional sebagai salah satu dari isu 4T (Transportation, Telecommunication, Tourism dan Technology) dalam milenium ketiga. Merupakan sebuah pengembangan konsep dari penyelarasan antara kegiatan manusia (aspek wisata) dan lingkungan sekitar (aspek ekologi). Berbagai pengertian tentang Ekowisata, diantaranya : ” Ekowisata adalah kegiatan wisata didaerah tujuan yang masih alami untuk menikmati keindahan alam, mendapatkan pengetahuan dan mendorong upaya konservasi alam dan budaya setempat serta memberikan kontribusi nyata terhadap peningkatan perekonomian masyarakat setempat ” ( PPLHK : 2007 ).


Prinsip-prinsip Ekowisata Berbasis Masyarakat

Konsep ekowisata telah dikembangkan sejak era tahun 80-an, sebagai pencarian jawaban dari upaya meminimalkan dampak negatif bagi kelestarian keanekaragaman hayati, yang diakibatkan oleh kegiatan pariwisata. Konsep ekowisata sebenarnya bermaksud untuk menyatukan dan menyeimbangkan beberapa konflik secara objektif: dengan menetapkan ketentuan dalam berwisata; melindungi sumber daya alam dan budaya; serta menghasilkan keuntungan dalam bidang ekonomi untuk masyarakat lokal. Dengan kata lain kegiatan wisata dapat disebut sebagai ekowisata, jika memenuhi beberapa prinsip, diantaranya adalah mengurangi dampak dan akibat negatif terhadap lingkungan, membangun kepedulian dan respek terhadap lingkungan dan budaya serta meningkatkan perekonomian dan peran serta masyarakat setempat. Sebagai suatu fenomena yang ditimbulkan oleh salah satu bentuk kegiatan yang bersifat konsumtif maka pariwisata memang memiliki potensi untuk meningkatkan pendapatan negara, pendapatan pemerintah baik pusat maupun daerah( PAD ), pendapatan dunia usaha, bahkan pendapatan masyarakat, sehingga mempunyai nilai ekonomi dan nilai komersial yang tinggi. Namun demikian, di samping itu pariwisata sebenarnya memiliki berbagai potensi lain yang tidak bersifat ekonomi dan komersial, seperti peningkatan kualitas nilai-nilai sosial budaya, integritas dan jati diri, perluasan wawasan, persahabatan, konservasi sumber daya alam dan peningkatan mutu lingkungan, dan sebagainya.


Rendahnya Pemahaman dan Kemauan Instansi terkait

Pada era reformasi, ketika penyelenggaraan pariwisata diserahkan pada tingkat kabupaten dan kota, kelihatannya mengalami stagnasi dan jalan di tempat, bahkan pada beberapa daerah masih banyak pihak berwenang di daerah yang belum memahami bahwa pariwisata adalah lintas batas, lintas kabupaten dan bahkan lintas provinsi. Lemahnya sumber daya manusia merupakan salah satu kendala dalam pengembangan pariwisata di daerah, selain faktor aksesibilitas dan kurangnya infrastruktur. Jangankan kita berbicara konsep ekowisata yang relatif masih baru, berupaya meningkatkan pemahaman tentang konsep pariwisata yang berbasis masyarakat saja memiliki banyak kendala. Hal ini juga yang dialami oleh penulis dalam upaya mendorong pengembangan Ekowisata Bahari Berbasis Masyarakat di Kepulauan Riau. Disamping lemahnya pemahaman instansi terkait terhadap konsep Ekowisata Bahari berbasis masyarakat, ternyata ” kemauan ” dari instansi terkait Propinsi Kepulauan Riau dan instansi berwenang di Kabupaten dan Kota juga sangat rendah, sehingga semakin mempersulit pengembangan ekowisata berbasis masyarakat yang sebenarnya merupakan salah satu upaya strategis untuk melindungi sumber daya alam dan budaya serta pemberdayaan perekonomian masyarakat pesisir, sekaligus sebagai upaya percepatan pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir yang menjadi tujuan pembentukan Propinsi Kepri.


Peran Sektor Swasta dan LSM

Disisi lain, sektor swasta juga harus memberikan dorongan dalam pengembangan ekowisata. Karena produk ekowisata di tingkat dunia telah berkembang sangat pesat, sementara diversifikasi produk wisata Kepri berjalan sangat lamban. Sampai saat ini masih banyak biro perjalanan di Kepri yang belum memahami pariwisata alam, dan belum optimal memanfaatkan alam sebagai aset produk. Sementara disisi lain, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dapat dilibatkan di dalam upaya mempersiapkan masyarakat penerima wisatawan. Kawasan-kawasan yang berpotensi perlu dikembangkan dengan melibatkan masyarakat sebagai bagian dari pengembangan, dan bukan sekedar menjadi objek wisata.


Promosi Pariwisata

Pengembangan kepariwisataan Kepri tidak cukup hanya dengan ” concern ” terhadap upaya-upaya promosi saja , yang notabene merupakan upaya yang memerlukan biaya tinggi, sementara efektifitasnya terhadap peningkatan kunjungan wisman masih rendah. Disisi lain objek-objek wisata yang akan dipromosikan terkesan hanya ” itu-itu saja ” bahkan tidak ada objek wisata baru yang merupakan hasil diversifikasi produk-produk wisata dengan menyesuaikan kepada trend pariwisata global seperti objek-objek daerah tujuan ekowisata unggulan. Dana pengembangan promosi yang telah dikeluarkan oleh Dinas Pariwisata baik ditingkat Propinsi Kepulauan Riau maupun di tingkat Kabupaten dan Kota terbukti tidak dapat mendongkrak peningkatan kunjungan wisatawan mancanegara untuk datang ke Kepulauan Riau, bahkan dari tahun ke tahun kunjungan wisman ke Kepulauan Riau cenderung terus menurun, kecuali untuk daerah tujuan wisata eksklusif seperti Kawasan Wisata Eksklusif Lagoi Bintan yang memang sudah cukup dikenal oleh dunia dan memiliki segmen pasar sendiri dan jaringan pemasaran serta promosi sendiri sehingga tidak memerlukan peran pemerintah dalam hal promosi dan pemasarannya.


Akhirnya pengembangan ekowisata memerlukan perangkat kebijakan dari pemerintah. Arah kebijakan secara nasional telah jelas dan arahan teknis pada tingkat daerah merupakan kebutuhan dasar juga telah dipenuhi, mengingat lemahnya sumber daya manusia di tingkat daerah kunjungan wisata. Jika kita saat ini selalu berlindung di balik peristiwa-peristiwa besar yang menyebabkan pariwisata Kepri terus menurun, akan tetapi seharusnyalah kita bisa memanfaatkan waktu kunjungan yang menurun ini untuk investasi peningkatan sumber daya manusia dan persiapan diversifikasi produk yang lebih kompetitif melalui pengembangan daerah tujuan ekowisata berbasis masyarakat di tingkat regional. Sehingga Program Pariwisata seperti Visit Batam 2010 dapat benar-benar mencapai sasaran dan bukan merupakan pemborosan keuangan negara melalui kegiatan promosi dan eksibisi yang sia-sia belaka. Semoga…


GOOD ENVIRONMENTAL GOVERNANCE

( Dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 juni 2009 )


Di Indonesia, dalam pencegahan dan penanggulangan dampak lingkungan hidup, pelaksanaan penaatan dan penegakan hukum lingkungan baik di tingkat nasional maupun daerah yang merupakan ujung tombak dari pencegahan dan penanggulangan dampak lingkungan masih memiliki kendala-kendala yang secara umum disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut: (1) peran Bapedalda Kota dan Kabupaten masih sangat terbatas dalam melaksanakan tugas pencegahan dan penanggulangan lingkungan hidup; (2) peraturan perundang-undangan yang ada lebih banyak memberikan kewenangan kepada Pemerintah Pusat dan/atau Propinsi. Sedangkan kegiatan-kegiatan yang potensial menimbulkan dampak lingkungan hidup terdapat di wilayah Kota atau kabupaten; (3) tidak adanya pedoman/strategi penaatan dan penegakan hukum di bidang lingkungan hidup baik di tingkat nasional maupun daerah; (4) lemahnya ketrampilan pejabat pemda dan anggota DPRD dalam menyusun perda yang berkaitan dengan lingkungan; (5) di level kelembagaan, masalah yang ada meliputi tidak adanya mandat/power yang diberikan kepada kelembagaan daerah, masih dicarinya bentuk kelembagaan yang tepat, serta lemahnya kemampuan SDM dalam melaksanakan fungsi penaatan dan penegakan hukum lingkungan; (6) pada akhirnya lemahnya public pressure/control juga memberikan akibat tidak efektifnya penaatan dan penegakan hukum lingkungan.

Di lain pihak, dengan diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, terdapat pengalokasian tugas, fungsi, tanggung jawab, dan wewenang pengelolaan lingkungan hidup yang selama ini terkonsentrasi di pusat kepada Pemerintah Daerah. Dalam masalah pengelolaan lingkungan hidup diatur hal-hal yang menjadi kewenganangan Pemerintah Pusat seperti misalnya penetapan pedoman pencegahan dan penanggulangan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sedangkan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Propinsi meliputi diantaranya pencegahan dan penanggulangan lingkungan hidup, pengawasan pelaksanaan konservasi, pengaturan tentang pengamanan dan pelestarian sumberdaya air lintas kabupaten/kota.

Untuk itu dalam upaya menciptakan pencegahan dan penanggulangan lingkungan hidup dan sumber daya alam efektif, diperlukan upaya pengembangan kapasitas terhadap 3 prasyarat, yang meliputi, yaitu: (1) adanya kewenangan serta mandat hukum yang jelas bagi pemerintah pusat maupun Pemerintah Daerah dalam melakukan fungsi pencegahan dan penanggulangan dampak lingkungan; (2) adanya pedoman/strategi penataan dan penegakan hukum lingkungan di tingkat nasional maupun lokal; (3) infrastuktur yang memadai pada tingkat kelembagaan, legislasi, kemampuan sumberdaya manusia, dan pendanaan. Bahwa pola bottom up lebih tepat dilakukan dalam kegiatan ini, yaitu dengan terlebih dahulu menyusun strategi di tingkat daerah yang memberikan dasar bagi operasionalisasi penaatan dan penegakan hukum lingkungan. Untuk itu harus ada kerjasama lintas sektoral secara langsung dengan berbagai institusi pemerintahan kabupaten dan/atau kota, termasuk di dalamnya berbagai Dinas/Badan yang ada seperti Bapedalda, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, dan Dinas Pertambangan. DPRD Kabupaten/Kota juga akan dilibatkan dalam kegiatan ini. Selain itu penyusunan strategi daerah ini harus dilakukan melalui konsultasi publik antar stakeholder secara menyeluruh sehingga seluruh unsur dalam masyarakat terlibat dalam proses ini.

Disamping perlunya pengembangan kapasitas penaatan dan penegakan hukum lingkungan di tingkat nasional maupun daerah, pengembangan "three pillars" yang merupakan prinsip-prinsip yang dilahirkan oleh Prinsip 10 Deklarasi Rio merupakan hal yang penting diaktualisasikan untuk mewujudkan good environmental governance. Three Pillars yang meliputi akses informasi, partisipasi masyarakat yang genuine dan access to justice dalam konteks enviromental decision making dalam tataran normatif secara relatif telah diakui dalam UU Nomor 23 tahun 1997. Namun demikian pengaktualisasian three pillars masih merupakan hal yang harus terus menerus diperjuangkan.

Pemerintahan Propinsi Kepulauan Riau yang sedang dalam semangat pelaksanaan FTZ hendaknya segera menetapkan strategi pencegahan dan penanggulangan lingkungan hidup dan sumber daya alam secara tepat dan akurat sehingga dapat menghindari krisis ekologi yang mungkin terjadi sebagai dampak negatip dari kegiatan pembangunan di era FTZ. Sehingga keinginan untuk menciptakan Waste Free Zone ( daerah bebas limbah ) pada era FTZ di Kepulauan Riau, khususnya BBK dapat menjadi kenyataan. Dan kasus-kasus yang berhubungan dengan permasalahan lingkungan, seperti masuknya limbah berbahaya ( B3 ) kedalam wilayah Kepulauan Riau dapat dihindari. Dengan demikian Pemerintahan Propinsi Kepulauan Riau beserta seluruh Kabupaten/Kota didalamnya menjadi suatu pemerintahan yang ramah lingkungan ( Good Environmental Governance ).

BATAM VISIT 2010: ANTARA IMPIAN DAN REALITA

Prospek pariwisata ke depan sangat menjanjikan bahkan sangat memberikan peluang besar, terutama apabila menyimak angka-angka perkiraan jumlah wisatawan internasional ( inbound tourism ) berdasarkan perkiraan WTO yakni 1,046 milyar orang (tahun 2010) dan 1,602 milyar orang (tahun 2020), diantaranya masing-masing 231 juta dan 438 juta orang berada di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Dan akan mampu menciptakan pendapatan dunia sebesar USD 2 triliun pada tahun 2020.

Berdasarkan angka perkiraan tersebut maka, PEMKO Batam dan para pelaku pariwisata Batam dalam konteks program Batam Visit 2010 khususnya, seyogyanya telah melakukan perencanaan yang matang dan terarah untuk menjawab tantangan sekaligus menangkap peluang yang akan “ bersliweran ” atau lalu lalang di kawasan kita, sebab Batam secara geografis sangat dekat dengan Singapore, Malaysia, Thailand dan negara sekitarnya. Pemanfaatan peluang harus dilakukan melalui pendekatan “ re-positioning ” keberadaan masing-masing kegiatan pariwisata dimulai dari sejak investasi, promosi, pembuatan produk pariwisata, penyiapan jaringan pemasaran internasional, dan penyiapan sumber daya manusia yang berkualitas. Kesemuanya ini harus disiapkan untuk memenuhi standar internasional sehingga dapat lebih kompetitif dan menarik, dibandingkan dengan kegiatan yang serupa dari negara-negara disekitar Batam.

Disisi lain, program Batam Visit 2010 yang telah dicanangkan PEMKO Batam tidak memperlihatkan perencanaan yang matang dan terarah dengan mengikuti trend pariwisata global sebagai acuan untuk menangkap peluang wisatawan mancanegara yang jumlahnya demikian besar pada tahun 2010 yang akan datang. Target Pemko Batam untuk menjadikan Batam menjadi kota ketiga terbesar dalam perolehan devisa Negara melalui pariwisata setelah Bali dan Jakarta dapat saja dijadikan ukuran keberhasilan program Batam Visit 2010 nanti, Namun apakah target tersebut realistis dan achievable adalah persoalan lain. Dan mengingat demikian tingginya tingkat aktivitas seremonial dibandingkan kegiatan factual untuk pengembangan pariwisata di Batam, maka keberhasilan Batam Visit 2010 dikhawatirkan hanya merupakan seremonial dan impian belaka.

Banyak hal yang tidak terlihat dari geliat program Batam Visit 2010, antara lain tidak tampaknya kesadaran atau pemahaman dari Dinas Pariwisata Batam dan para pelaku pariwisata di Batam tentang perubahan pola konsumsi yang terjadi pada wisatawan, khususnya wisatawan global, yaitu dari pola konsumsi santai menikmati sun-sea and sand kepada jenis wisata yang lebih tinggi lagi yang meskipun tetap santai tetapi dengan selera yang lebih meningkat yakni menikmati produk atau kreasi budaya ( culture ) dan peninggalan sejarah ( heritage ) serta nature atau eko-wisata dari suatu daerah atau negara.

Seharusnya perubahan pola wisata global ini perlu segera disikapi dengan berbagai strategi pengembangan produk pariwisata, khususnya produk wisata jenis ekowisata atau wisata berbasis masyarakat( community based tourism ), maupun promosi baik disisi pemerintah maupun swasta. Dari sisi pemerintah Kota perlu dilakukan perubahan skala prioritas kebijakan sehingga peran sebagai fasilitator dapat dioptimalkan untuk mengantisipasi hal ini. Disisi lain ada porsi kegiatan yang harus disiapkan dan dilaksanakan oleh swasta yang lebih mempunyai sense of business karena memang sifat kegiatannya berorientasi bisnis.

Pada bulan Juli 2000, Bank Dunia mulai memikirkan bagaimana caranya menanggulangi masalah kemiskinan melalui sektor pariwisata yang kemudian dikenal dengan “ community-based tourism ” (CBT). Selanjutnya diidentifikasi adanya tiga kegiatan pariwisata yang dapat mendukung konsep CBT yakni adventure travel , cultural travel dan ecotourism . Dibahas pula kaitannya dengan akomodasi yang dimiliki oleh masyarakat atau disebut small family-owned hotels yang biasanya berkaitan erat dengan tiga jenis kegiatan tersebut. Bank Dunia yakin bahwa peningkatan wisata adventure , ecology dan budaya akan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat setempat dan sekitarnya sekaligus memelihara budaya, kesenian dan cara hidup masyarakat disekitarnya. Selain itu CBT akan melibatkan pula masyarakat dalam proses pembuatan keputusan, dan dalam perolehan bagian pendapatan terbesar secara langsung dari kehadiran para wisatawan. Sehingga dengan demikian CBT akan dapat menciptakan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan dan membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga dari penduduk setempat yang tumbuh akibat peningkatan kegiatan pariwisata. Jadi sesungguhnya CBT adalah konsep ekonomi kerakyatan di sektor riil, yang langsung dilaksanakan oleh masyarakat dan hasilnyapun langsung dinikmati oleh mereka. Namun realitanya Batam Visit 2010 tidak pernah menyinggung tentang CBT, apalagi pengembangannya sehingga apa yang bisa dibanggakan pada program Batam Visit 2010 selain logo dan sign board yang menampilkan Batam Visit 2010 yang tidak jelas arah, isi dan maksudnya? Namun demikian kita tetap berharap agar Batam Visit 2010 dapat berhasil sesuai dengan target yang telah ditetapkan, agar impian kita sesuai dengan realita yang ada dan marwah kita sebagai orang Batam tetap terjaga

Wisata Berbasis Masyarakat


( Sebagai Pendekatan Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan )


Pendahuluan

Menurut Garrod (2001:4), terdapat dua pendekatan berkaitan dengan penerapan prinsip –prinsip perencanaan dalam konteks pariwisata. Pendekatan pertama yang cenderung dikaitkan dengan sistem perencanaan formal sangat menekankan pada keuntungan potensial dari ekowisata. Pendekatan kedua, cenderung dikaitkan dengan istilah perencanaan yang partisipatif yang lebih concern dengan ketentuan dan pengaturan yang lebih seimbang antara pembangunanan dan perencanaan terkendali. Pendekatan ini lebih menekankan pada kepekaan terhadap lingkungan alam dalam dampak pembangunan ekowisata.


Community Based Tourism/Wisata Berbasis Masyarakat

Salah satu bentuk perencanaan yang partisipatif dalam pembangunan pariwisata adalah dengan menerapkan Community Based Tourism (CBT) sebagai pendekatan pembangunan. Definisi CBT yaitu: 1) bentuk pariwisata yang memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal untuk mengontrol dan terlibat dalam manajemen dan pembangunan pariwisata, 2) masyarakat yang tidak terlibat langsung dalam usaha usaha pariwisata juga mendapat keuntungan, 3) menuntut pemberdayaan secara politis dan demokratisasi dan distribusi keuntungan kepada communitas yang kurang beruntung di pedesaan/pesisir dan pulau-pulau kecil. Dengan demikian CBT merupakan suatu pendekatan pembangunan pariwisata yang menekankan pada peran aktif masyarakat lokal (baik yang terlibat langsung dalam industri pariwisata maupun tidak) dalam bentuk memberikan kesempatan (akses) dalam manajemen dan pembangunan pariwista yang berujung pada pemberdayaan politis melalui kehidupan yang lebih demokratis, termasuk dalam pembagian keuntungan dari kegitan pariwisata yang lebih adil bagi masyarakat lokal. Gagasan tersebut sebagai wujud perhatian yang kritis pada pembangunan pariwisata yang seringkali men gabaikan hak masyarakat lokal di daerah tujuan wisata. Suansri (2003:14) mendefinisikan CBT sebagai pariwisata yang memperhitungkan aspek keberlanjutan lingkungan, sosial dan budaya. CBT merupakan alat pembangun-an komunitas dan konservasi lingkungan. Atau dengan kata lain CBT merupakan alat untuk mewujudkan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan.


Paradigma Baru Pariwisata

Gagasan untuk memunculkan tools berpadigma baru dalam pembangunan pariwisata adalah semata-mata untuk menjaga keberlangsungan pariwisata itu sendiri. Untuk itu ada beberapa prinsip dasar CBT yaitu: 1) mengakui, mendukung dan mengembangkan kepemilikan komunitas dalam industri pariwisata, 2) mengikutsertakan anggota komunitas dalam memulai setiap aspek, 3) mengembangkan kebanggaan komunitas, 4) mengembangkan kualitas hidup komunitas, 5) menjamin keberlanjutan lingkungan, 6) mempertahankan keunikan karakter dan budaya di area lokal, 7) membantu berkembangnya pembel ajaran tentang pertukaran budaya pada komunitas, 8) menghargai perbedaan budaya dan martabat manusia, 9) mendistribusikan keuntungan secara adil pada anggota komunitas, 10) berperan dalam menentukan prosentase pendapatan (pendistribusian pendapatan ) dalam proyek yang ada di komunitas. Sepuluh prinsip dasar tersebut harus menjadi tumpuan, arah dan prinsip dasar dari pembangunan pariwisata agar keberlanjutannya terjamin. Meski dalam prinsip dasar tersebut secara eksplisit lebih memfokus kan pada kepen-tingan masyarakat lokal, tetapi ide utama dalam prinsip dasar tersebut adalah hubungan yang lebih seimbang atara wisatawan dan masyarakat lokal dalam industri pariwisata. Keseimbangan yang dimaksud antara lain dalam hal status kepemilikan komunitas, pembagian keuntungan yang adil, hubungan sosial budaya yang didasari sikap saling menghargai, dan upya bersama untuk menjaga lingkungan. Sebagai tindak lanjut Suansri (2003:21 -22) menyampai-kan pointpoint yang merupakan aspek utama pengembangan CBT berupa 5 dimensi, yaitu: 1) dimensi ekonomi, dengan indikator berupa adanya dana untuk pengembangan komunitas, terciptanya lapangan pekerjaan di sektor pariwisata, timbulnya pendapatan masyarakat lokal dari sektor pariwisata; 2) dimensi sosial dengan indikator meningkatnya kualitas hidup, peningkatan kebanggaan komunitas, pembagian peran yang adil antara laki -laki perempuan, generasi muda dan tua, membangun penguatan organisasi komunitas; 3) dimensi budaya dengan indikator berupa mendorong masyarakat untuk menghormati budaya yang berbeda, membantu berkembangnya pertukaran budaya, budaya pembangunan melekat erat dalam budaya lokal; 4) dimensi lingkungan, dengan indikator mempelajari carryng capacity area, mengatur pembuangan sampah, meningkatkan keperdulian akan perlunya konservasi; 5) dimesi politik, dengan indikator: meningkatkan partisipasi dari penduduk lokal, peningkatan kekuasaan komunitas yang lebih luas, menjamin hak-hak dalam pengelolaan SDA. CBT berkaitan erat dengan adanya partisipasi dari masyarakat lokal. Partisipasi masyarakat dalam pariwisata terdiri dari dua perspektif yaitu dalam partisipasi lokal dalam proses pengambilan keputusan dan partisipasi lokal berkaitan dengan keuntungan yang diterima masyarakat dari pembangunan pariwisata. Ada tiga hal pokok dalam perencanaan pariwisata yang partisipatif yaitu berkaitan dengan upaya mengikutsertakan anggota masyarakat dalam pengambilan keputusan, adanya partisipasi masyarakat lokal untuk menerima manfaat dari kegiatan pariwisata dan pendidikan kepariwisataan bagi masyarakat lokal.


Ciri-ciri CBT

Ciri-ciri khusus dari Community Based Tourism adalah berkaitan dengan manfaat yang diperoleh dan adanya upaya perencanaan pendampingan yang membela masyarakat lokal serta lain kelompok memiliki ketertarikan/minat, yang memberi kontrol lebih besar dalam proses sosial untuk mewujudkan kesejahteraan. Sedangkan strategi lainnya adalah strategi yang terfokus pada identifikasi tujuan masyarakat tuan rumah dan keinginan serta kemampuan mereka menyerap manfaat pariwisata. Setiap masyarakat harus didorong untuk mengidentifikasi tujuannya sendiri dan mengarahkan pariwisata untuk meningkatkan kebutuhan masyarakat lokal. Untuk itu dibutuhkan perencanaan sedemikian rupa sehingga aspek sosial dan lingkungan masuk dalam perencanaan dan industri pariwisata memperhatikan wisatawan dan juga masyarakat setempat. Untuk mengukur tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata di daerah tujuan wisata dapat menggunakan beberapa variabel sebagai berikut. Pertama, proses konsultasi publik dan definisi tujuan setempat (lokal), dalam hal ini menanyakan kepada pedagang kecil, pemilik penginapan, pemilik warung dan persewaan alat transportasi yang ada di sekitar area tujuan wisata apakah mereka diajak berkonsultasi oleh pemerintah tentang perencanaan pariwisata, apakah mereka merasa pemerintah harus berkonsultasi dengan masyarakat lokal untuk merencanakan pariwisata dan apakah mereka ingin lebih dilibatkan dalam perencanaan pariwisata. Kedua, input/masukan/pendapat dari stakeholder (masyarakat, pemerintah termasuk organisasi kepariwisataa seperti PHRI, ASITA) dan NGO, yaitu berkaitan dengan perlu tidaknya mengikutsertakan masyarakat dalam perencanaan pembang -unan pariwisata dan proses perencanaan kepariwisataan yang ada di daerah tujuan wisata. Ketiga, mengikutsertakan masyarakat lokal dalam memanfaatkan industri pariwisata. Keempat, pendidikan bagi penduduk lokal.


Pendekatan Partisipatif Masyarakat

Keuntungan dari pendekatan perencanaan yang partisipatif adalah: 1) mengkonsultasikan proyek dengan masyarakat atau melibatkan masyarakat dalam manajemen penerapan proyek dan/atau pengoperasian proyek dapat meningkatkan effisiensi proyek, 2) efektifitas proyek jauh lebih meningkat dengan mengikutsertakan masyarakat yang dapat membantu memastikan jika tujuan proyek bisa ditemukan dan keuntungan akan diterima kelompok/masyarakat lokal, 3) sebagai capacity building bagi kelompok masyarakat agar mereka memahami apa itu CBT dan peranannya dalam pembangunan berkelanjutan. ( terjamin bahwa yang terlibat sangat nampak keikutsertaannya secara aktif dalam proyek dengan pelatih -an formal/informal serta kegiatan untuk meningkatkan keperdulian), 4) pemberdayaan lokal meningkat dengan memberi masyarakat lokal kontrol yang lebih besar terhadap sumber daya dan memutuskan penggunakan sumber daya yang berpengaruh/penting sesuai dengan tempat tinggal mereka. (artinya menjamin jika masyarakat lokal menerima keuntungan yang sesuai dengan penggunaan sumber daya), 5) pembagian keuntungan dengan warisan lokal (lokal beneficiaries), misal biaya tenaga kerja, biaya keuangan, operasional dan perawatan proyek dan/atau monitoring dan evaluasi proyek. Lebih lanjut , elemen-elemen dari perencanaan pariwisata partisipatif yang sukses yaitu: 1) membutuhkan kepemimpinan yang efektif (memiliki kredibilitas sebagai orang yang memahami, empati dan perduli den gan pendapat stakeholder, memiliki kredibilitas sebagai seseorang yang memiliki keahlian yang dibutuhkan di daerah tersebut, mandiri, memiliki kemam-puan mengidentifikasi masalah yang nyata dan tidak nyata, mememiliki kemampuan mengatur partisipan, bersedia mengembangkan kelompok), mampu mengarahkan keterlibatan yang sifatnya top down ke bottom up), 2) pemberdayaan masyarakat lokal, 3) mengkaitkan keuntungan ekonomi dengan konservasi, 4) melibatkan stakeholder lokal dalam setiap tahapan proyek, 5) adanya partisipasi lokal dalam monitoring dan evaluasi proyek.


Dukungan Penuh Pemerintah

Sementara itu beberapa kunci pengaturan pembangunan pariwisata dengan pendekatan CBT yaitu: pertama, adanya dukungan pemerintah: CBT membutuhkan dukungan struktur yang multi institusional agar sukses dan berkelanjutan. Pendekatan CBT berorientasi pada manusia yang mendukung pembagian keuntungan dan manfaat yang adil serta mendukung pengentasan kemiskinan dengan mendorong pemerintah dan masyarakat untuk tetap menjaga SDA dan budaya. Pemerintah akan berfungsi sebagai fasilitator, koordinator atau badan penasehat SDM dan penguatan kelembagaan. Kedua, partisipasi dari stakeholder. CBT didiskripsikan sebagai variasi aktivitas yang meningkatkan dukungan yang lebih luas terhadap pembangunan ekonomi dan sosial masyarakat. Konservasi sumber daya juga dimaksudkan sebagai upaya melindungi dalam hal memperbaiki mata pencaharian /penghidupan masyarakat. CBT secara umum bertujuan untuk penganeka ragaman industri Peningkatan skope partisipasi yang lebih luas ini termasuk partisipasi dalam sektor informal, hak dan hubungan langsung/tidak langsung dari sektor lainnya. Pariwisata berperan dalam pembangunan internal dan mendorong pembangunanan aktivitas ekonomi yang lain seperti industri, jasa dan sebagainya. Anggota masyarakat dengan kemampuan kewirausahaan dapat menentukan/membuat kontak bisnis dengan tour operator, travel agent untuk memulai bisnis baru. Ketiga, pembagian keuntungan yang adil. Tidak hanya berkaitan dengan keuntungan langsung yang diterima masyarakat yang memiliki usaha di sektor pariwisata tetapi juga keuntungan tidak langsung yang dapat dinikmati masyarakat yang tidak memilki usaha. Keuntungan tidak langsung yang diterima masyarakat dari kegiatan CBT jauh lebih luas antara lain berupa proyek pembangunan yang bisa dibiayai dari hasil penerimaan pariwisata. Keempat, penggunaan sumber daya lokal secara berkesinambungan. Salah satu kekuatan CBT adalah ketergantungan yang besar pada sumber daya alam dan budaya setempat. Dimana aset tersebut dimiliki dan dikelola oleh seluruh anggota masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, termasuk yang tidak memiliki sumber daya keuangan. Hal itu bisa menumbuhkan kepedulian, penghargaan diri sendiri dan kebanggaan pada seluruh anggota masyarakat.


Penutup

Dengan demikian sumber daya yang ada menjadi lebih meningkat nilai, harga dan menjadi alasan mengapa pengunjung ingin datang ke desa. Kelima, penguatan institusi lokal. Pada awalnya peluang usaha pariwisata di daerah pedesaan atau pesisir dan pulau-pulau kecil sulit diatur oleh lembaga yang ada. Penting untuk melibatkan komite dengan anggota berasal dari masyarakat. Tujuan utamanya adalah mengatur hubungan antara penduduk, sumber daya dan pengunjung. Hal ini jelas membutuhkan perkembangan kelembagaan yang ada di sana. Yang paling baik adalah terbentuk lembaga dengan pimpinan yang dapat diterima semua anggota masyarakat. Penguatan kelembagaan bisa dilakukan melalui pelatihan dan pengembangan individu dengan ketra mpilan kerja yang diperlukan (teknik, managerial, komunikasi, pengalaman kewirausahaan, dan pengalaman organisasi. Penguatan kelembagaan dapat berbentuk forum, perwakilan, dan manajemen komite. Keenam, keterkaitan antara level regional dan nasional. Komunitas lokal seringkali kurang mendapat link langsung dengan pasar nasional atau internasional, hal ini menjadi penyebab utama mengapa menfaat CBT tidak sampai dinikmati di level masyarakat. Perantara yaitu yang menghubungkan antara aktifitas CBT dengan masyarakat dan turis justru memetik keutungan lebih banyak.